Saturday, June 25, 2016

Potret Kota Xiamen, Representasi Era Baru Negeri Tiongkok

Telepon selulerku bordering ketika aku sedang dalam perjalanan menggunakan bis patas dengan rute Surabaya menuju ke Jember, Jawa Timur. Suara seorang bapak-bapak menyapa dan menanyakan kabar serta kesibukanku. Ketika aku tanyakan namanya pun, sebut saja pak Z, aku belum bisa langsung mengenalinya. Beberapa pertanyaan aku lancarkan kembali, dan pada akhirnya terjawab sudah bahwa beliau adalah atasan dari atasannya atasanku, alias big bos. Ohlala…. Seketika itu juga rasa kantukku langsung pergi tanpa pamit meninggalkan dunia nyataku. Antara salah tingkah dan malu, aku mulai menyusun baris demi baris kalimat untuk menjawab beberapa pertanyaan dari beliau. Singkat cerita, tujuan utama beliau menghubungiku adalah untuk merekomendasikan aku pergi ke China mengikuti sebuah workshop dan training. Aku ditunjuk itu dengan alasan yang kurang relevan sebenarnya. Dengan dalih karena hobiku memotret biota laut, makanya aku yang ditunk




Pontang-panting urus pembaharuan pasporku yang telah lebih dari dua tahun kadaluarsa. Masih saja ada yang perlu diperbaiki dan ditambahkan, padahal bagiku ini adalah pengurusan paspor baru untuk yang ketiga kalinya. Mulai dari masalah foto berjenggot, sampai masalah proses yang terpending gara-gara di pingpong oleh kepentingan. Petugas yang mengurus paspor sempat meyakinkanku bahwa aku tidak memiliki jadwal pergi ke Amerika dalam waktu dekat ini. Menurutnya dengan foto pasporku yang berjenggot ini hampir dipastikan sulit untuk bisa dipakai pergi ke Amerika. Kembali ke masalah pasporku, kantor Sekretariat Negara tidak bisa memproses pasporku karena tidak ada surat tertulis yang menyatakan bahwa keikutsertaanku semua ditanggung oleh panitia. Sedangkan panitia tidak mensyaratkan fotokopi paspor yang masih berlaku untuk menerbitkan funding letter. Lobi sana lobi sini dengan berbagai argumentasi, akhirnya urusan paspor dan exit permit beres lah sudah. Tiket pesawat pergi dan pulang pun sudah sudah aku terima lewat email yang dikirimkan oleh panitia melalui travel agent. Undangan dan pengumuman mengenai hotel dari panitia juga sudah aku terima. Selanjutnya menyusul surat ijin untuk melaksanakan tugas dari kantor pun akhirnya keluar juga. Ribet, sangat ribet dan penuh lika liku, tapi semua harus dilalui untuk kepentingan administrasi dan juga jaminan keselamatanku di negeri orang.


Hari keberangkatan pun datanglah. Sesuai kesepakatan dengan travel agent, aku memutuskan untuk transit satu hari di Jakarta karena banyak yang aku perlukan waktu transit di Jakarta. Tiba di Jakarta, aku langsung menuju kantor untuk mengambil dokumen-dokumen yang harus kubawa. Keesokan harinya, perjalanan ke negeri China dimulai dari kantor dengan menumpang taksi menuju ke bandara. Para calon penumpang yang hampir semuanya berwajah oriental tersebut mulai mengambil posisi antri ketika petugas check in pun mulai berdatangan. Setengah jam sebelum jadwal boarding, aku langsung menuju ke gate yang telah ditentukan. Aku terus berdoa supaya penumpang yang duduk di sebelahku bukan orang yang menjengkelkan. Beruntunglah aku, dua penumpang di sebelahku adem ayem saja, jauh dari ekspektasi yang pernah kubayangkan. Kebetulan aku prefer tempat duduk dekat jendela, di samping untuk menghindari dilewat-lewati penumpang lain yang hendak ke toilet, maksudku adalah ingin menikmati pemandangan di luar selama penerbangan. Pemandangan yang cukup menawan terbentang di bawahku. Pertama saat melintasi bentang alam yang berupa kombinasi antara hijaunya belantara yang dihiasi oleh kelokan beberapa buah sungai yang airnya berwarna coklat yang kadang diselingi oleh permukiman penduduk. Kalau berdasarkan perkiraanku, yang ada di bawahku itu adalah bagian dari Kalimantan. Pemandangan selanjutnya adalah birunya samudera yang membentang luas. Dapat dipastikan itu adalah Laut China Selatan yang sedang hangat-hangatnya menjadi bahan perebutan oleh beberapa negara. Usai menikmati sajian yang dihidangkan oleh pramugari yang semua tidak bisa berbahasa Indonesia, suasana pesawat menjadi cukup hening. Akupun terlelap untuk beberapa saat lamanya dan terbangun saat senja telah menyapa melalui warna lembayung yang menghias cakrawala. Sungguh sajian yang sangat luar biasa, fenomena alam yang mempesona.


Sampai disini, pelayanan dan kenyamanan maskapai penerbangan ini terbilang lumayan, mungkin karena penerbangan internasional dengan durasi cukup lama. Penerbangan dari Jakarta menuju Guangzhou ditempuh selama lima jam. Terdengar pengumuman dalam bahasa China dan bahasa Inggris dengan logat China. Kira-kira secara garis besar isi dari pengumuman itu adalah bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di bandara internasional Baiyun di kota Guangzhou. Saat melongok ke luar jendela, tidak terlihat sama sekali tanda-tanda sebuah kota. Ternyata di luar kabutnya cukup tebal sehingga gemerlap lampu perkotaan tidak mampu menembus angkasa. Namun sesekali akhirnya samar-samar terlihat lampu kota yang kian lama kian terlihat nyata. Waktu landing semakin dekat, namun kabutnya ternyata sampai mendekati permukaan tanah. Waktu diperdengarkan pengumuman oleh awak kabin, tidak terdengar olehku ada pengumuman mengenai berapa suhu di luar. Baru setelah keluar dari pesawat ada penunjuk suhu di dekat pintu masuk menuju ruang tunggu bandara, 18oC. Ketika masuk ke bandara, aku teringat betapa bermasalahnya aku waktu pemeriksaan di loket imigrasi waktu ke Jepang beberapa tahun sebelumnya. Petugasnya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang kurang bagus, sedangkan aku tidak bisa berbahasa Jepang. Di samping itu, menurutku mereka cenderung galak. Apakah kali ini akan terulang lagi? Semua kekuatiranku ternyata buyar setelah giliranku bertemu petugas imigrasi. Kemampuan bahasa Inggrisnya bagus dengan intonasi yang sangat jelas. Dia pun sama sekali tidak galak, bahkan sebaliknya, sangat ramah terhadapku.



Setelah mengambil bagasi, aku langsung menuju meja check in maskapai Xiamen Airlines. Sekali lagi, aku memanfaatkan keanggotaan Garuda Miles. Setelah check in aku langsung menuju ruang tunggu yang telah ditentukan. Alur menuju ke ruang tunggu lumayan panjang karena ukuran bandaranya termasuk bandara besar. Namun rambu penunjuk dan fasilitas mobil listrik pengantar penumpang sangat memadai. Menurut pendapatku, bandara ini terbilang mewah. Jika dibandingkan dengan bandara di Indonesia, kayaknya bandara ini satu level di atas. Walaupun pembandingnya bandara Soetta maupun bandara Ngurah Rai. Tiga jam transit disini aku manfaatkan untuk menikmati suasana yang berbeda dari yang ada di negaraku. Mulai dari orang per orang secara individu maupun ketika mereka dalam kelompok. Kebudayaan yang berbeda antara Indonesia dan China mungkin menjadi alasan yang tepat yang membedakan suasana di dalam bandara. Sebagai contoh yang gampang dilihat, mengenai gaya berpakaian. Penumpang maupun pekerja di pertokoan yang kujumpai disini mencerminkan kehidupan modern kebarat-baratan. Hampir tidak kutemukan seorangpun yang memakai sandal, semua orang bersepatu. Dan masih banyak hal yang membedakan suasana bandara disini dan di negeriku. Akan tetapi ternyata ada kesamaan mendasar antara kedua negara, yaitu tentang budaya antri. Sama halnya dengan di Indonesia, disini orang saling serobot untuk masuk maupun keluar pesawat. Yang jelas, disini aku adalah orang asing, perbedaan warna kulit yang cukup mencolok menjadikanku terlihat semakin asing. Jadinya aku selalu mengalah saat ada yang berminat menyerobot antrian yang seharusnya giliranku.

Menjelang jam 9 malam pesawat mulai bersiap untuk lepas landas. Sebelum pesawat lepas landas, seorang pramugari menghampiriku untuk memeriksa nomor kursiku. Setelah cocok dengan nomor yang dimaksud, dia memberikanku sebuah bingkisan yang terdiri dari selimut, koran, air mineral dan snack yang dikemas dalam sebuah tas jinjing. Tanpa bertanya kenapa cuma aku yang diberi bingkisan macam itu, aku terima dan kuletakkan di kursi sebelahku yang kebetulan kosong. Beberapa penumpang lain disekitarku terlihat memperhatikanku dengan penuh selidik. Setelah pesawat dalam keadaan terbang stabil, baru aku mengira-ngira kenapa cuma aku yang mendapatkan bingkisan itu. Mungkin karena pesan dari travel agent. Aku nggak terlalu memusingkannya, dan memilih untuk memejamkan mata dan tidur. Suara dentuman ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu saat burung besi yang aku tumpangi telah mendarat di bandara internasional Gaoqi di kota Xiamen membangunkan tidurku. Jarum jam sudah menunjukkan jam 11 lebih beberapa menit waktu setempat. Laporan mengenai suhu di luar dari awak kabin tidak jauh berbeda dengan suhu udara di Guangzhou. Itu artinya aku bakal merasa kedinginan apabila tidak memakai jaket atau pakaian tebal saat berada di luar ruangan. Sesuai dengan arahan dari panitia penyelenggara kegiatan, dari bandara aku disarankan untuk langsung check in di hotel yang telah ditentukan. Jarak antara bandara menuju ke hotel tidak terlalu jauh, kira-kira kurang dari setengah jam jam dengan biaya kurang dari 50 RMB. Begitu bagasi sudah ada ditangan, aku langsung keluar bandara dan antri mendapatkan taksi. Berbekal tulisan Xiamen City Hotel yang ditulis dalam huruf China yang diberikan oleh panitia, aku menunjukkan tulisan tersebut di ponselku kepada sopir taksi. Maklum, kemampuan berkomunikasi penduduk China dalam bahasa Inggris terkenal tidak bagus, hampir sama dengan Jepang. Mereka memiliki fanatisme yang sangat tinggi terhadap bahasa dan aksara mereka sendiri. Begitu membaca tulisan yang aku tunjukkan, sopir taksi kelihatan mengerti dan langsung menuju ke hotel tersebut.

Tiba di hotel yang telah ditetapkan oleh panitia pas tengah malam. Suasana perjalanan masih agak ramai tapi lancar. Masalah timbul ketika check in hotel. Resepsionis bersikeras meminta aku untuk membayar kamar, akupun tidak mau kalah berdebat bahwa penginapanku ditanggung oleh panitia. Dia baru bisa menerimaku dengan baik ketika aku tunjukkan surat dari panitia yang sengaja aku siapkan untuk menghadapi masalah seperti ini. Aku langsung masuk ke kamar di lantai 20. Kamarnya menurutku terlalu mewah buatku. Pikirku, daripada duitnya dibuang-buang hanya untuk kamar seperti ini, lebih baik diberi fasilitas kamar yang biasa dan duit sisanya bisa disimpan buat keperluan lain, apalagi kalau bisa sharing kamar. Pemikiranku mungkin terlalu udik, tapi kan apa salahnya menghemat. Yang jelas, aku begitu menikmati fasilitas yang diberikan, mandi kemudian istirahat karena keesokan harinya acara akan dimulai setelah sarapan. Dengan kamar yang seperti itu, pantas saja kalo aku sangat terlelap, apalagi kondisi badan yang lelah karena perjalanan udara lumayan jauh dan lama. Bangun pagi jadinya nggak langsung mandi lalu menuju restoran untuk sarapan, tapi malah tidur lagi sampe menjelang waktu pembukaan acara training. Menu sarapan akhirnya hanya tinggal angan-angan saja, alias terlewat karena tidur. Bangun tidur, aku langsung mandi dan berkemas memakai pakaian rapi karena ada pembukaan training dan acaranya akan berlangsung sampai jam 3 sore.


Sebagai seorang muslim, sempat ada kekhawatiran dengan menu makanan orang China. Ternyata, hotelnya sudah sering dijadikan untuk menyelenggarakan acara internasional sehingga setiap masakan yang mengandung unsur non-halal selalu diberikan keterangan di sekitarnya. Akan tetapi, untuk alasan keamanan, pilihan utamaku adalah yang berbahan dasar buah, sayur dan sea food yang dimasak tanpa kuah. Restoran hotel tergolong ramai, bahkan tidak jarang aku mengalami kesulitan mendapatkan tempat duduk. Padahal harga makan siang di hotel sangat mahal. Sekali makan siang di hotel bisa untuk 3 hari makan di luar hotel, atau bisa untuk makan 2 minggu kalau di kampung halamanku. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya perekonomian di negeri ini, terutama di kota ini, sudah terbilang maju. Dan aku yakin dalam beberapa tahun ke depan standardnya sudah setingkat dengan Eropa atau Amerika.

Selepas acara training, peserta di ajak untuk mengikuti semacam field trip ke sebuah pulau kecil yang berada di Sanniang Bay yang letaknya berada di bawah jembatan penghubung antara Pulau Xiamen dan daratan China. Tujuan utamanya adalah ke sebuah penangkaran dan area konservasi mamalia laut lumba-lumba putih (white dolphin). Saat melintasi jalanan menuju ke dermaga penyeberangan, ku lihat bahwa kota ini sudah tertata begitu rapinya. Seorang teman dari Timor Leste berargumen bahwa Xiamen memang diproyeksikan sebagai kota pariwisata, teras negeri China untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat internasional. Kalau dipikir-pikir memang masuk akal. Bangunan pencakar langit bertebaran dimana-mana. Sistem transportasinya pun sudah bagus. Imbasnya memang menjadikan biaya hidup di sini menjadi sangat mahal. Namun dibalik itu semua, sistem pemerintahan yang menganut sistem komunis tidak memungkinkan masyarakat memiliki hak milik atas tanah. Artinya bahwa semua tanah milik negara, masyarakat bisa memanfaatkannya akan tetapi jika pemerintah menghendaki tanah tersebut maka yang bersangkutan harus menyerahkannya tanpa ganti rugi sepeserpun.




Sekitar setengah jam lamanya waktu yang ditempuh untuk menyeberang ke tempat penangkaran lumba-lumba putih. Setibanya di pulau tersebut, kami disambut oleh seorang guide yang hanya bisa berbahasa Mandarin. Seorang panitia lokal menterjemahkan penjelasan dari guide dari bahasa Mandarin ke bahasa Inggris. Sebelum menuju ke kolam lumba-lumba, kami diajak berkeliling menyisir tepian pulau melalui jalan setapak yang telah disediakan. Ternyata pulau ini selain berfungsi sebagai area konservasi juga menjadi salah satu tujuan untuk berwisata kota Xiamen, dan terutama  untuk melangsungkan foto pre-wedding. Pulaunya memang bagus, dengan pantai berpasir putih dan ditumbuhi banyak pohon cemara. Aku lupa menanyakan, apakah ini pulau asli atau pulau buatan. Yang jelas, ketika hari sudah sore tamu dari kota berbondong-bondong datang ke pulau ini untuk tujuannya masingm-masing. Banyak titik untuk foto yang bagus di sini, mulai dari pantai dengan latar belakang kota Zhangzhou di daratan China atau kota Xiamen sendiri, sebuah danau air asin yang berada di tengah pulau, atau Haicang Bridge yaitu sebuah jembatan yang menghubungkan Pulau Xiamen dengan daratan China. Terdapat juga beberapa buah rumah kecil yang difungsikan sebagai penginapan, sepertinya cocok untuk yang sedang honey moon. Atau mengelilingi pulau dengan berkuda melalui pantai, danau dan hutan.

Lumba-lumba putih (Chinese white dolphin) atau juga disebut dengan humpback dolphin memiliki nama ilmiah Sousa chinensis (Osbeck, 1765). Sebenarnya, mamalia laut yang satu ini tidak benar-benar berwarna putih, akan tetapi lebih cenderung abu-abu dan bertotol-totol ketika masih muda. Hewan yang sering disalahartikan sebagai ikan ini merupakan varietas dari Indo-Pacific humpback dolphin dengan sebaran di sepanjang pesisir China, Asia Tenggara hingga Australia. Salah satu biota paling cerdas ini digadang-gadang menjadi ikon pariwisata dari kota Xiamen. Atraksi lumba-lumba ini sebenarnya bukan murni sebagai ajang pertunjukan komersil seperti yang pernah kulihat di Indonesia. Kalau yang aku lihat di Indonesia memang menjadikan lumba-lumba sebagai bisnis pertunjukan keliling dari satu kota ke kota yang lain. Tapi yang ada di Xiamen ini lebih ke rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh petugas yang bertanggung jawab di area kolam tersebut, terutama bertepatan dengan jadwal pemberian pakan. Mungkin mirip yang diterapkan terhadap fauna di beberapa lokasi wisata resmi di Indonesia seperti di Taman Impian Jaya Ancol atau Taman Safari Indonesia. Di pengamatanku, hanya terdapat dua ekor lumba-lumba putih yang ditempatkan di kolam tersebut.



Di area konservasi ini, selain terdapat sebuah kolam besar untuk atraksi lumba-lumba putih juga terdapat sebuah gedung display untuk berbagai macam biota laut.  Biota yang ditampilkan pada display tersebut cukup beragam, selayaknya yang pernah aku lihat di Museum Raffles di Singapura. Tata letak spesimen dan setting ruangannya pun dibuat sebegitu apiknya sehingga informatif dan tidak membosankan. Sayangnya di Indonesia belum ada yang seperti itu. Bahkan sekelas Museum Zoologi Bogor yang notabene memiliki koleksi flora dan fauna tropis yang sangat lengkap pun belum mengupayakan pembangunan spesimen display yang modern. Justru aku pernah melihat di Jatim Park, yaitu salah satu obyek wisata di kota Batu – Jawa Timur yang sebenarnya telah membuat spesimen display walaupun masih dalam skala kecil. Aku Cuma berharap dan membayangkan kalau dalam beberapa waktu ke depan Indonesia memiliki spesimen display modern seperti ini. Di samping sebagai salah satu bentuk untuk menympan spesimen koleksi flora dan fauna nusantara, juga sebagai upaya untuk memperkenalkannya ke khalayak ramai. Layaknya negara-negara maju di dunia, harusnya negara sebesar dan sekaya Indonesia ini memiliki sebuah Natural History Museum. Lagi-lagi aku berhayal seiring dengan berlalunya kapal yang kami tumpangi menuju ke pelabuhan Xiamen. Andai kata aku menyusun sebuah konsep berdirinya museum sejarah alam di Indonesia, kira-kira seperti apa ya baiknya.















Selama lima hari acara training dan workshop, rutinitasku dari pagi sampai malam sangat monoton. Berkutat dengan laptop, mencoba berselancar di dunia maya  tanpa mesin pencari Google yang memang di blokir di China, dengan koneksi internet yang timbul tenggelam, akhirnya kelar juga kerjaan. Setelah kami mempresentasikan hasil kerjaan masing-masing, kemudian di sambung dengan siding pleno untuk menyusun draft kokumen yang nantinya akan dibahas oleh komite yang lebih tinggi di Kanada. Malam terakhir aku manfaatkan untuk keluar untuk sekedar keliling kota bersama beberapa teman. Maklum, selama hampir seminggu di Xiamen, hanya sekali aku keluar malam untuk makan bersama teman dari Timor Leste dan Myanmar. Itupun hanya di sebuah rumah makan kecil di samping hotel dengan pelayannya yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, hanya bahasa isyarat sebagai cara berkomunikasi kami. Aku memang seringnya sengaja nggak keluar cari makan malam, tapi lebih memilih tinggal di kamar berbekal beberapa potong kue dan buah jatah snack sore yang aku bawa ke kamar.



Informasi yang aku dapatkan dari internet bahwa tidak jauh hotel itu terdapat sebuah pusat keramaian, pedestrian yang namanya sudah cukup popular. Zhongshanlu Street Pedestrian namanya. Kami berjalan kaki sekitar setengah jam. Memang benar, suasananya sangat ramai. Udara dingin membawa kami ke suatu titik, dan akhirnya terpencar menjadi beberapa kelompok kecil. Sedangkan aku sendiri bergabung bersama dua orang teman dari Malaysia. Masuk mall, pertokoan, dan akhirnya ke deretan rumah makan yang sangat ramai. Di situ kami membeli cumi-cumi yang ditusuk dan digoreng kering dengan dibalut tepung berbumbu. Ukurannya yang besar sudah cukup membuatku kenyang, lebih tepatnya sebenarnya eneg. Kami kemudian mencoba masuk ke sebuah toko souvenir, dengan harapan siapa tau ada yang bisa dibeli untuk oleh-oleh. Tapi aku sama sekali tidak membeli apapun karena barang dagangannya semua ada di Indonesia. Kembali kami pulang menuju hotel, menyusuri jalanan yang kami lalui saat berangkat. Jam sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam ketika kami bertiga tiba di hotel. Aku pun langsung menuju kamar untuk packing dan istirahat karena besok harus berangkat pagi-pagi ke bandara. Sebenarnya hanya sebentar saja packingnya, karena di samping barang bawaanku yang memang sedikit, juga karena sudah aku packing kemarin-kemarinnya.

Sebelum jam 6 pagi aku sudah terbangun, hari masih gelap. Jam 7 aku menuju ke restoran, sarapan. Tercatat baru di hari terakhir itulah aku sarapan. Biasanya nggak pernah sarapan karena rasa malas untuk beranjak dari kasur lebih menguasai daripada rasa lapar. Ternyata menu sarapannya cukup menggiurkan, dengan variasi yang beraneka ragam. Aku bertemu beberapa orang yang aku kenal, yang juga merupakan peserta training workshop. Kemungkinan mereka juga akan terbang kembali ke negaranya pagi itu. Beres sarapan, aku kembali ke kamar untuk mengambil barang-barangku, sebuah koper ukuran kecil dan sebuah tas punggung. Sesampainya di lobi, segera aku membereskan urusan administrasi kamar. Dan seperti yang disampaikan oleh panitia bahwa urusan kamar sudah dibereskan oleh panitia. Jadi urusanku sudah beres. Selanjutnya adalah memesan taksi. Secara kebetulan pula, bersamaku adalah peserta dari China yang akan terbang ke Beijing. Dia menawariku untuk ikut bersama dengan taksinya ke bandara. Aku pun mengiyakan. Setengah jam lamanya perjalanan dari hotel ke bandara, dan kami hanya ngobrol sekenanya karena sama-sama masih ngantuk. Sampai di bandara aku langsung check in, naik Xiamen Air menuju bandara Changi di Singapura, lanjut naik Airfast menuju Surabaya. Dengan demikian berakhirlah pejalanan singkatku ke salah satu sudut paling modern di negeri Tiongkok.
   
   
  




Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan

Wednesday, April 20, 2016

Mengintip Jejak Kejayaan Kerajaan Riau di Pulau Penyengat

Beberapa kali aku datang ke kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang terletak si Pulau Bintan, namun belum sekalipun singgah ke Pulau Penyengat. Di samping karena memang tidak ada alokasi waktu, maklum karena jadwal pekerjaan yang sangat padat hingga larut malam, juga karena kurang paham tentang apa sebenarnya Pulau Penyengat itu. Aku baru mendapatkan keterangan singkat tentang pulau tersebut setelah ketiga kalinya datang ke Tanjung Pinang. Itu pun aku masih belum mendapatkan waktu yang tepat untuk menyeberang. Baru, setelah kali ke empat aku kembali ke Bintan dan kebetulan ada waktu longgar, maka dengan tidak membuang-buang waktu aku langsung berniat untuk ke Pulau Penyengat. Paling tidak, aku punya waktu tiga hari yang agak longgar sepulang setibanya dari perjalanan jauh dari Anambas. Mungkin lebih baik kalau aku menawarkan ke beberapa orang dari rombonganku untuk menyeberang ke Pulau Penyengat, walaupun sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan kalau harus jadi solo traveler. Sesuai perkiraan, dari delapan teman serombongan yang aku tawari untuk menyeberang, hanya satu orang yang bersedia gabung bersamaku. Ternyata beberapa orang sudah pernah ke Pulau Penyengat, sehingga enggan untuk beranjak kembali. Sedangkan yang lainnya beralasan karena masih ada yang harus dikerjakan atau karena masih merasa lelah setelah perjalanan kapal laut selama 18 jam. Okelah, akhirnya aku hanya berdua saja dengan salah seorang teman yang akan menyeberang ke Pulau Penyengat.



Aku mencoba mencari informasi dari internet mengenai sejarah dan seluk beluk Pulau Penyengat. Pulau Penyengat diketahui mengalami perubahan nama atau dikenal dengan nama lain sesuai dengan masa dan bangsa yang menyebutnya. Pulau Penyengat sudah sejak lama dikenal pelaut sejak beberapa abad yang lampau sebagai tempat persinggahan. Para pelaut yang berlayar di sekitar Selat Malaka tersebut singgah ke pulau ini terutama bertujuan untuk mengisi air tawar sebagai persediaan di kapal mereka. Atas dasar cerita rakyat yang telah diketahui secara turun temurun, nama pulau tersebut disematkan karena adanya sebuah mitos yang berupa pantangan yang berkaitan dengan sumber air. Alkisah diceritakan pada suatu waktu ada seorang pelaut yang melanggar pantangan pada saat mengambil air, seketika itu pelaut tersebut lalu diserang oleh ratusan serangga berbisa semacam lebah. Serangga tersebut memiliki senjata berupa penyengat untuk menyuntikkan bisanya. Bangsa Belanda mengenal pulau ini dengan sebutan Pulau Indera dan Pulau Mars. Tatkala Kerajaan Riau dipusatkan di pulau ini, pulau kecil ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat Inderasakti.  


Pulau kecil yang berjarak kurang dari 2 km dari kota Tanjung Pinang diketahui memiliki sejarah yang panjang bagi sejumlah kerajaan atau kesultanan di bagian barat Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pulau Penyengat berperan penting dalam jatuh bangunnya Imperium Melayu, yang terdiri dari Kesultanan Johor, Pahang, Siak dan Lingga. Peran penting tersebut dikarenakan kesultanan-kesultanan tersebut karena pengaruh dari Kerajaan Riau yang berdiri sejak tahun 1722. Berdirinya Kerajaan Riau berdiri sebagai buntut dari perang yang memperebutkan tahta Kesultahan Johor antara dua bersaudara keturunan sultan. Pemenang dari perang saudara tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Johor-Riau-Lingga karena mendapatkan bala bantuan dari bangsawan Bugis, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Tinggi di Johor ke Hulu Sungai Carang di Bintan. Sedangkan saudaranya, sebagai pihak yang kalah, akhirnya menyingkir dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak di daratan Sumatra.

Setelah pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga berjalan, Pulau Penyengat berperan sebagai pusat pertahanan sekaligus sebagai  kediaman dan pusat pemerintahan dari Yang Dipertuan Muda setelah dipindahkan dari Hulu Sungai Carang. Sementara itu, Yang Dipertuan Besar atau sultan berpindah kedudukan ke Daik, Lingga. Beberapa tahun sebelumnya, Pulau Penyengat sebenarnya merupakan hadiah dari Sultan kepada istrinya yang memungkinkan pulau ini mendapat perhatian yang memadai dari sultan. Yang Dipertuan Muda memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan Yang Dipertuan Besar. Namun demikian Yang Dipertuan Muda memiliki peran penting yaitu mengatur pemerintahan, perekonomian, angkatan perang dan masalah operasional lainnya. Pada awal tahun 1900an, kedudukan Yang Dipertuan Besar akhirnya juga dipindahkan ke Pulau Penyengat. Pemindahan kedudukan ini tentu saja diikuti dengan pembangunan simbol-simbol kekuasaan sultan, antara lain istana, kantor, mahkamah, rumah sakit dan lainnya. Sehingga akhirnya Pulau Penyengat selain dikenal sebagai pusat pemerintahan juga diketahui sebagai pusat agama, adat-istiadat dan kebudayaan Melayu. Pemerintahan Riau-Lingga mengalami antiklimaks pada tahun 1911, yaitu ketika Belanda menurunkan sultan. Sultan dianggap melawan pemerintah kolonial karena menolak menandatangani surat perjanjian. Sementara itu tidak ada seorang pun bangsa Melayu yang bersedia menjadi penerus sultan, bahkan sebagian besar penduduk memilih untuk pindah ke Singapura dan Johor. Belanda akhirnya diambil alih Pulau Penyengat.



Sepeninggal penduduk Pulau Penyengat, tersisa beberapa ratus orang dari 6000an yang pernah mendiami pulau, bangunan-bangunan menjadi terbengkalai dan tidak dapat dihindari penjarahan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Sultan yang kala itu juga telah mengungsi ke Singapura ketika mendengar bahwa Belanda akan mengambil alih simbol-simbol kerajaan, termasuk bangunan dan harta benda lainnya. Sultan kemudian memberikan perintah kepada rakyat yang masih tinggal di Pulau Penyengat untuk menghancurkan simbol-simbol kerajaan tersebut dan menanami lahan yang masih kosong. Tujuannya adalah untuk menghindarkan berpindahnya simbol-simbol kerajaan tersebut ke tangan Belanda. Akibatnya, walaupun masa berakhirnya kerajaan tersebut baru sekitar 100 tahun yang lalu, namun sangat sedikit bukti kejayaan kerajaan tersebut yang tersisa. Bukti yang masih dapat dinikmati hingga kini hanya berupa masjid, empat kompleks pemakaman diraja, dua bekas istana dan beberapa gedung lama, serta benteng dan sumur tua.

Untuk mencapai pulau dengan panjang sekitar 2000 meter dan lebar sekitar 850 meter ini bisa ditempuh dengan menumpang perahu motor untuk penyeberangan reguler selama kurang lebih 15 menit dari kota Tanjung Pinang. Ketika perahu yang kita tumpang tiba di dermaga pulau yang memiliki luas pulau 240 hektar ini, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah bangunan megah berwarna dasar kuning. Ya itulah Masjid Sultan Riau, salah satu situs peninggalan keraraan yang tersisa dan masih terawat dengan baik. Aku datang ke Pulau Penyengat berbarengan dengan beberapa penduduk lokal yang bekerja di kota Tanjungpinang serta beberapa orang turis lokal. Beberapa pengemudi becak motor menyambut kedatangan para penumpang perahu dan langsung menawarkan jasa untuk berkeliling pulau. Mereka biasanya telah memiliki rute tetap ke berbagai situs wajib selama satu jam dengan harga yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika kita ingin lebih lama atau ingin keluar dari rute biasanya, kita bisa nego harga sewa bentor kepada pengemudi. Pengemudi bentor selain sebagai pengantar para turis untuk berkeliling, dia juga dapat berperan ganda sebagai pemandu yang siap memberikan penjelasan dan menceritakan sejarah setiap situs yang didatangi. Di pulau ini memang tidak diperkenankan ada mobil atau kendaraan sejenisnya, sehingga untuk berpindah dari satu situs ke situs yang lain dengan cepat adalah dengan menumpang bentor atau menyewa motor. Kalaupun ingin menikmati pulau ini dengan berjalan kaki, sangat memungkinkan dapat mengelilingi pulau ini kurang dari satu hari dengan berjalan santai. Bukan saja mobil, di pulau ini pun tidak diperkenankan membangun hotel, sehingga jika ingin menginap bisa menumpang di rumah penduduk setempat.




Aku sengaja tidak menyewa bentor ataupun sepeda motor, walaupun sebenarnya tidak punya tujuan khusus mau kemana. Tapi yang pasti begitu menginjakkan kaki di pulau ini, aku bersama temanku langsung menuju ke Masjid Raya Sultan Riau. Masjid yang konon awalnya dibangun oleh Sultan pada tahun 1803 dan dilanjutkan oleh Yang Dipertuan Muda pada tahun 1832 ini memiliki keunikan karena mencampurkan putih telur sebagai bahan perekat untuk dinding. Berhubung aku datang sudah lewat waktu sholat Ashar, dan jadwal sholat Maghrib pun masih jauh, aku pun hanya berkeliling melihat-lihat detail bagian-bagian masjid. Selain bangunan utama sebagai rumah ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya, di sekitar masjid juga terdapat beberapa bangunan tambahan, dua diantaranya adalah Rumah Sotoh yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Juga terdapat dua buah bangunan lain berupa balai sebagai tempat untuk menghidangkan makanan yang disediakan oleh pengurus masjid saat diadakan kenduri atau di waktu berbuka puasa. Masjid ini terbuka untuk umum, dalam artian bahwa siapa saja boleh masuk dengan catatan tetap menjaga kesopanan terutama dalam hal berpakaian dan berperilaku. Sebagai contoh, laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek tidak diperkenankan memasuki masjid. Pengambilan gambar di dalam masjid pada dasarnya tidak diperbolehkan kecuali ada ijin khusus dari pengurus masjid. Lantaran keterbukaannya, tidak heran jika pada hari minggu atau hari libur jumlah pengunjung yang datang ke masjid ini menembus angka seribu orang. Halaman masjid yang bersih sering kali digunakan bukan hanya untuk kegiatan keagamaan namun juga untuk kegiatan dibidang seni dan budaya, misalnya untuk penyelenggaraan lomba pembacaan syair dan gurindam dua belas.

Tidak disangka, begitu keluar dari kompleks masjid aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku. Benar saja, sosok yang mengendarai motor bersama dua anak kecil itu adalah seseorang yang telah aku kenal cukup dekat sebelumnya. Dia adalah penduduk lokal Pulau Penyengat. Sebenarnya bukan orang asli dari Pulau Penyengat tetapi menurut ceritanya dia adalah keturunan Bugis yang memang memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Riau. Dalam perantauannya, seorang teman tadi akhirnya menikah dengan keturunan bangsawan kerajaan Riau, dan akhirnya menetap di Pulau Penyengat. Begitu saling melihat, kami pun langsung saling menyapa. Sejurus kemudian, dia menawarkan untuk mengajak keliling pulau dengan meminjamkan sepeda motornya kepada kami sedangkan dia memakai sepeda motor yang lainnya. Aku tidak tahu akan diaja kemana saja, hanya mengikutinya dari belakang. Melintasi pemukiman penduduk asli Pulau Penyengat yang damai. Melintasi perkebunan yang hijau. Dan akhirnya kami pun tiba di salah satu kompleks pemakaman. Di Pulau Penyengat ini paling tidak terdapat delapan kompleks pemakaman para bangsawan yang tersebar di seluruh pulau.



Perjalanan religi kami berziarah ke makam leluhur bangsa Melayu pertama-tama dimulai dari kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah. Engku Putri Raja Hamidah yang merupakan anak dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau ke IV merupakan istri dari Sultan Mahmud. Mas kawin dari perkawinan tersebut adalah Pulau Penyengat. Dan dari perkawinan tersebut, Engku Putri Raja Hamidah menjadi tokoh penting karena sebagai pemegang amanat alat-alat kebesaran kerajaan yang diperuntukkan dalam penobatan sultan. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat makam Raja Ali Haji, seorang bangsawan sekaligus seniman dengan karya besarnya yang berupa Gurindam Dua Belas. Gurindam Dua Belas sendiri sejatinya adalah sebuah petunjuk untuk menjalankan kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk membentuk akhlak mulia dan menegakkan ajaran agama Islam. Selanjutnya, aku diajak menuju ke kompleks makam Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV. Raja Haji Fisabilillah merupakan sosok pahlawan bagi masyarakat Melayu karena kegigihannya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan selanjutnya oleh pemerintah Republik Indonesia diagugerahi gelar pahlawan nasional. Kemudian kami menuju ke kompleks makam Raja Jakfar, yang merupakan putera dari Raja Haji Fisabilillah dan sekaligus sebagai Yang Dipertuan Muda VI. Pada masa pemerintahan Raja Jakfar inilah pusat kerajaan dipindahkan dari hulu Riau ke Pulau Penyengat sekaligus merubah tatanan Pulau Penyengat laksana kota yang berselera tinggi. Laju sepeda motor selanjutnya menuju ke kompleks makam Daeng Marewah atau juga dikenal dengan Kelana Jaya Putera, ialah Yang Dipertuan Muda I. Kami lalu meneruskan perjalanan menuju ke kompleks makam Daeng Celak, yaitu Yang Dipertuan Muda II sekaligus ayahanda dari Raja Haji Fisabilillah. Perjalanan religi kami diakhiri di ke kompleks makam Raja Abdurrahman, yang tidak lain adalah Yang Dipertuan Muda VII sekaligus pendiri Masjid Raya Sultan Riau. Dari sini, kompleks Masjid Raya Sultan Riau yang terletak di dekat dermaga dapat terlihat samar-samar karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Di dalam masing-masing kompleks makam tersebut, selain terdapat makam bangsawan juga terdapat makam lain yang merupakan kerabat dan sahabat dekat dari bangsawan yang bersangkutan.



Di sela-sela perjalanan dari kompleks makam yang satu ke kompleks makam yang lain, aku juga diajak untuk singgah di beberapa situs dan bangunan lainnya. Balai Adat Indra Perkasa menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh turis. Bangunan yang berupa rumah panggung khas Melayu, yaitu rumah adat Riau ini merupakan tempat perjamuan untuk menyambut tamu penting dan juga sebagai tempat untuk mengadakan musyawarah. Di dalamnya terdapat perlengkapan adat serta kesenian Melayu yang terdapat pada ruang utama. Bagi yang percaya, air dari sumber yang berada di bagian bawah rumah panggung ini berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membukakan pintu jodoh. Situs lain yang masih dapat dijumpai adalah Istana Raja Ali yang dikenal dengan Istana Kantor, berfungsi sebagai kediaman dan sekaligus kantor bagi Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Hingga saat ini kondisi bangunan istana memang sudah tidak utuh, namun dari yang dapat dilihat, bangunan ini masih memperlihatkan kemegahannya di masa lalu. Situs yang tidak kalah nilai sejarahnya adalah Bukit Kursi. Di atas tanah yang paling tinggi di pulau inilah dibangun sebuah benteng pertahanan pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah provinsi Kepulauan Riau merencanakan pembangunan sebuah monumen dengan nama Monumen Bahasa Melayu di atas tanah bekas benteng. Tujuannya adalah sebagai simbol penghormatan dan penghargaan kepada Raja Ali Haji atas jasa-jasanya dalam bidang bahasa. Namun sampai saat ini pembangunan monumen tersebut belum terealisasi.



Sampai disini perjalananku untuk sedikit mengenal tentang sejarah dan budaya Melayu melalui peninggalan Kerajaan Riau. Sebuah peninggalan besar yang sudah selayaknya diperhatikan oleh pihak-pihak yang terkait. Memang terdengar kabar bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu Pulau Penyengat telah diusulkan ke badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) untuk dijadikan sebagai salah satu situs warisan dunia. Faktanya, jalan untuk mendapatkan status tersebut tidaklah mudah karena berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Satu dekade telah berlalu dan memang Pulau Penyengat tidak masuk daftar penilaian pada pembahasan tahun lalu. Tidak jelas kenapa Pulau Penyengat tidak masuk dalam daftar tersebut, dan itu artinya sampai dua dekade yang akan datang status sebagai situs warisan dunia belum akan disandang oleh Pulau Penyengat. Sangat disayangkan mengingat sebagai asal usul Bahasa Melayu berasal dari sini, dan bahasa tersebut juga digunakan di beberapa negara di Asia Tenggara. Lebih menyedihkan lagi karena Bahasa Melayu saat ini oleh dunia dikenal sebagai bahasa asli Malaysia. Padahal jika status sebagai situs warisan dunia disematkan kepada Pulau Penyengat, maka serangkaian keuntungan akan datang mengikuti selain menegaskan bahwa Bahasa Melayu berasal dari Indonesia, bukan Malaysia. Tempat yang mendapatkan status tersebut akan mendapatkan kucuran dana dari UNESCO untuk pemeliharaan dan pengelolaan. Di sisi lain, lokasi tersebut akan dikenal dunia yang menjadikan nilai jualnya melejit sehingga geliat pariwisata akan lebih bergairah.



Fakta memilukan yang membuat penantian akan status sebagai situs warisan dunia akan lebih panjang lagi setelah terungkap bahwa Pulau Penyengat belum termasuk benda cagar budaya nasional. Dengan tidak adanya status cagar budaya tersebut maka bukti legalitas bahwa Pulau Penyengat dilindungi secara nasional belum ada. Ketiadaan aturan perlindungan tersebut berarti ketiadaan jaminan bahwa situs tersebut masih asli atau sudah mengalami perubahan. Sedangkan keaslian sebuah situs merupakan kriteria yang disyaratkan oleh UNESCO untuk dapat masuk dalam daftar situs warisan dunia. Lebih parahnya lagi, ternyata pemerintah daerah belum menyatakan keseriusannya dalam upaya pengelolaan situs tersebut. Artinya bahwa hal ini menjadi kelemahan tersendiri yang paling mendasar. Pasalnya, UNESCO juga mensyaratkan keseriusan dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya pengelolaan sebuah situs sebelum didaftarkan. Berkaca dari fakta-fakta yang ada itulah, semoga ke depannya semoga ada niat dari berbagai pihak yang terkait dalam rangka mewujudkan status Pulau Penyengat sebagai salah satu situs warisan dunia. Dengan harapan bahwa masa keemasan kerajaan Riau dapat dikenal dan dikenang dengan baik, lebih jauh lagi dapat dibangkitkan kembali di jaman modern ini.




Aku menyeberang kembali menuju ke kota Tanjung menjelang senja, dengan membawa beberapa lembar catatan pribadi tentang Pulau Penyengat. Entah untuk siapa catatan tersebut akan kualamatkan, tapi yang jelas kini aku mulai mengerti bahwa tidak mudah untuk belajar sejarah, apalagi mengerti tentang sejarah. Karena pada setiap jaman, sejarah mengalami pergeseran. Dan terjadinya pergeseran tersebut memungkinkan terhapusnya sejarah yang telah lampau. Sekali lagi, harus dimaklumi bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa, yang berarti bahwa banyak sejarah yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan kebenarannya. Dan biarlah aku menulis sedikit tentang sejarah Pulau Penyengat dengan caraku sendiri sambil menikmati seporsi mie lendir, secangkir kopi O, sepaket otak-otak ikan khas Kepulauan Riau dan juga tidak lupa siput gonggongnya.





Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan